Home » KTI » Konservasi » Pergeseran Garis Dasar Beberapa Sumberdaya Perairan Morotai Dalam 20 Tahun Terakhir

Pergeseran Garis Dasar Beberapa Sumberdaya Perairan Morotai Dalam 20 Tahun Terakhir

Kabupaten Pulau Morotai merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara. Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara resmi dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, pada Jumat (20/3/2009) di Morotai. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sekitar 2.314,90 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 54 ribu jiwa. Morotai terdiri dari lima kecamatan dan 64 desa dengan ibu kota ditetapkan di Morotai Selatan. Kabupaten Pulau Morotai terletak antara 20001 LU – 20401 LU dan 1280151 BT – 1290081 BT. Kabupaten Pulau Morotai terletak dikawasan Timur Indonesia, tepatnya berbatasan dengan:

  • Samudra Pasifik, Laut Halmahera di sebelah utara
  • Laut Halmahera di sebelah timur
  • Selat Morotai di sebelah selatan
  • Laut Sulawesi, Laut Halmahera di sebelah barat, (Morotai, 2010).

Sampai dengan tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Pulau Morotai hasil dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebanyak 54.165 jiwa yang terdiri dari 28.392 jiwa laki-laki dan 25.773 jiwa perempuan, sehingga rasio jenis kelamin Pulau Morotai 110 artinya setiap 100 penduduk perempuan di Kabupaten Pulau Morotai, terdapat 110 penduduk laki-laki. Selanjutnya bila dilihat dari penyebaran penduduk di tiap kecamatan, maka Kecamatan Morotai Selatan merupakan wilayah yang terbanyak penduduknya dengan jumlah penduduk sebanyak 15.536 jiwa dan kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Morotai Timur yang hanya berpenduduk 7.951 jiwa, (Morotai, 2010).

Sampai akhir 2009 produksi perikanan di Kabupaten Hamahera Utara sebanyak 1.110 ton. Adapun mayoritas sarana perikanan (alat penangkap ikan) di Halmahera Utara adalah gill net sebanyak 92 buah dan alat pancing lainnya 57 buah. Sedangkan kapal penangkap ikan sebanyak 1.948 kapal tanpa motor, 57 kapal motor tempel dan 5 kapal motor. (BPS, 2010).

Morotai merupakan daerah di tanah air yang memiliki catatan sejarah penting dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Sebagai wilayah perbatasan dengan negara lain, Morotai menjadi tempat yang sangat strategis untuk ditempati sebagai pangkalan perang, tidak heran jika terdapat tujuh (fitu) landasasan pacu pesawat terbang di Morotai yang merupakan peninggalan perang dunia kedua (perang Asia Timur Raya). Pasca perang kemerdekaan, tidak banyak yang berubah dari daerah di perbatasan ini, kecuali bahwa saat ini menjadi salah satu wilayah yang diprioritaskan untuk pengembangan kawasan wisata bahari dan sentra kelautan dan perikanan terpadu.

Pada kurun waktu yang cukup lama sejak merdeka, Morotai sebagai bagian dari wilayah kedaulatan NKRI tidak banyak mengalami perubahan secara sosial ekonomi. Melalui Kementerian Kelautan Perikanan, Morotai pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan even internasional berupa Sail Morotai yang memperkenalkan potensi bahari di Morotai.

Dalam perubahan waktu, terdapat perubahan garis dasar sumberdaya yang bergeser secara samar jika tidak diamati secara seksama. Berdasarkan data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan stakeholder perikanan berbagai lapisan usia diketahui bahwa ternyata terdapat beberapa sumberdaya yang mengalamai pergeseran dan perubahan yang mencolok dalam kurun waktu 20 tahun sampai seperempat abad (25 tahun).

  1. Kepiting kelapa

Pada era 1990-an terdapat banyak kepiting kelapa di pesisir Morotai dengan ukuran yang besar (2-3 kg per ekor). Penduduk dengan mudah menangkapnya karena hewan tersebut beredar di sekitar pemukiman pantai pesisir sampai pada jarak sekitar 500 meter dari bibir pantai. Jumlah yang bisa ditangkap oleh penduduk berkisar 5 ekor per malam tanpa mengeluarkan biaya karena spesies tersebut berada di sekitar rumah penduduk.

Sekitar 10 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2000-an, ukuran kepiting kelapa  tersebut mengalami penurunan dimana berat per ekor tersisa sekitar 1 kg. Potensi tangkapan juga berubah dimana penduduk hanya bisa memperoleh sekitar 5 ekor dalam 3 hari. Daerah sebarannya pun mulai menjauh dari pemukiman penduduk ke daerah lebih dekat ke bibir pantai.

Setelah tahun 2010 sampai saat ini, sumberdaya kepiting kelapa mengalami pergeseran semakin jauh. Kepiting kelapa tersisa dalam ukuran kecil (800gram/ekor). Jumlah tangkapan yang bisa diperoleh hanya berkisar 5 ekor per minggu dengan daerah sebaran hanya tersisa pada daerah pandan/kelapa. Untuk memperolehnya saat ini nelayan/penduduk harus mengeluarkan uang untuk membeli umpan, padahal dulu tanpa harus mengeluarkan biaya.

  1. Ikan Ekor Kuning (Lolosi)

Ikan Lolosi di Morotai dua puluh lima tahun lalu diperoleh oleh nelayan dalam jumlah tangkapan yang banyak dengan ukuran besar (35 cm). Fishing ground lolosi juga terbilang sangat dekat dari pantai dan diperoleh dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. 10 tahun kemudian, hasil tangkapan jenis ini terhitung masih stabil, namun ukuran mulai berubah dan bervariasi. Fishing ground juga berubah menjauh, tetapi nelayan masih menangkap dengan alat yang sederhana.

Perubahan yang besar terlihat setelah tahun 2010 dimana ikan ekor kuning lolosi semakin sedikit, dan ukuran spesies didominasi dengan ukuran kecil. Fishing ground berubah semakin jauh dari jarak sebelumnya. Perubahan kondisi ekor kuning tersebut banyak dipengarhui oleh perubahan ekologi dan kerusakan ekosistem ditambah pertambahan jumlah nelayan, yang berakibat pada penurunan populasi ekor kuning.

  1. Ikan Ngafi (teri)

Ikan teri yang dikenal dengan nama lokal Ngafi di Morotai merupakan salah satu jenis komoditas ekonomis. Pada era tahun 1997an jumlah populasi ngafi melimpah. Nelayan menangkap jenis ikan ini dengan menggunakan  bagan. Produksi per unit bagan bisa mencapai 5 ton per trip. Jumlah armada yang beroperasi sekitar 10 buah bagan. Ukuran ikan teri ngafi berkisar 5-7 cm. 10 tahun kemudian jumlah produksi mengalami penurunan dimana 1 armada bagan bisa menghasikan 2 ton per trip. Ukuran ikan berubah menjadi lebih kecil yakni 3-5 cm.

Kondisi sumberdaya ngafi yang mengalami perubahan saat ini, disebabkan adanya upaya budidaya perairan yang menjadikan ngafi sebagai bahan pakan buddidaya, serta adanya alur pelayarana kapal penumpang. Jumlah hasil tangkapan semakin menurun hingga mencapai produksi sekitar 300 kg per trip dengan jumlah armada semakin sedikit pula, hanya 1 unit bagan per daerah penangkapan.

4. Ikan Tuna

Morotai terkenal dengan perikanan tuna yang melimpah. Pada tahun 2016 lalu terdapat berita tentang penguburan massal ikan tuna di Daeo karena produksi yang tidak terserap pasar dan tidak tertampung di cold storage. Tetapi apakah sumberdaya tuna yang melimpah ini tidak mengalami perubahan?

Dari keterangan berbagai stakeholder diperoleh informasi bahwa sumberdaya ini telah mengalamai perubahan. Di era tahun 1990, ikan tuna ditangkap cukup dengan menggunakan armada perahu kecil dengan jarak fishing ground berkisar 500 meter dari pantai. Hal itu otomatis berkontribusi pada biaya yang kecil untuk operasi penangkapan ikan bahkan sebagian nelayan hanya mengoperasikan perahu dayung. Tetapi di sisi lain, harga komoditas tersebut juga sangat rendah yakni pada kisaran harga Rp.10.000/ekor.

10 tahun kemudian, jarak fishing ground berubah menjauh sekitar 4 mil laut sehingga nelayan membutuhkan armada yang lebih besar. Perubahan tersebut juga berakibat pada biaya yang diperlukan untuk operasi penangkapan ikan tuna. Harga komoditas mulai mahal yakni Rp. 25.000/ekor.

Pergeseran kondisi sumberdaya ikan tuna di Morotai terus berlangsung terutama pada 10 tahun terakhir (2010). Fishing ground semain jauh dan waktu tempuh mancapainya sudah mencapai kisaran 8 jam dari fishing base. Armada yang digunakan juga semakin besar dengan biaya investasi yang besar pula. Sehingga usaha penangkapan ikan tuna di morotai menjadi usaha dengan skala besar dan sebagian nelayan kecil tidak mampu lagi melakukan operasi penangkapan. Imbas lain dari besarnya investasi untuk penangkapan ini adalah harga komoditas yang juga terus menanjak hingga mencapai kisaran Rp. 20.000/Kg.

Banyak hal yang kemungkinan menjadi penyebab pergeseran kondisi sumberdaya tersebut. Hal yang pasti bahwa perubahan yang terjadi karena sumberdaya tersebut mengalami eksploitasi atau pemanfaatan. Pelajaran yang bisa dikaji adalah bahwa pola pemanfaatan yang dilakukan akan berpengaruh langsung terhadap kondisi sumberdaya berdasarkan perjalanan waktu. Hasil evaluasi pemanfaatan bisa menjadi referensi untuk pengelolaan masa mendatang.

Referensi :

  • Morotai dalam Angka 2010
  • BPS Kabupaten Pulau Morotai

Disusun Oleh : Agussalim, S.Pi, M.Si

Baca Juga

Penilaian DUPAK Penyuluh Perikanan Dihadiri Kapuslatluh dan Kadis Perikanan Ambon

Senin, 22 Februari 2021, pada kesempatan membuka acara Penilaian Angka Kredit Penyuluh Perikanan Satminkal BPPP …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *